Baperian

Hai para pembaca blog gw yang lucu dan imut (ataupun yg ga lucu dan imut). Thanks alot udah jadi pembaca blog sederhana gw ini, setiap hit yang tercatat menjadi motivasi gw buat nulis lagi. Walaupun nulisnya cuma sekedar curhat yang semoga ga bikin pembaca blog ini malah pada kabur.

Okey, kali ini gw pengen nulis tentang baper. Dulu gw ga ngerti apa itu baper. Tak bisa paham hanya dengan mengetahui bahwa baper itu singkatan dari Bawa Perasaan. Dan memang dasar gw orangnya ga pedulian yang sering banget sotoy, gw ga pernah nanya. Cukup belagak sok paham namun tetap mengamati, terus mempelajari. Anggapan awal gw kemudian terbentuk bahwa istilah baper diperuntukkan bagi mereka yang gampang tersinggung. Berbicara dengan orang baper jadi harus hati-hati banget. Becandaan bisa dianggep serius, salah ngomong bisa bikin sakit hati, ciye-ciyean bisa bikin nangis, and bla bla bla, dst dsb etc.

Dengan anggapan awal seperti itu, gw berkesimpulan bahwa gw jauh dari lingkungan baper. Bergaul dengan para traveler, gw lebih sering menemukan jiwa-jiwa yang santai, yang bisa memilah dan memisahkan pembicaraan pribadi dan group. Yang mainnya sudah cukup jauh dan pulangnya juga cukup malam. Ya walaupun tetap saja gw menemukan satu dua orang yang secara kejiwaan bukanlah anak traveler (dalam defenisi gw sendiri) walaupun secara historical mereka suadah melanglang buana menjelajah negri.

Kalu kamu masih tersinggung dengan becandaan teman, berarti mainmu kurang jauh dan pulangmu kurang malam

Quote diatas yang entah siapa yang menemukannya, menjadi sangat populer di lingkungan pergaulan gw. Seolah menjadi rule tersendiri untuk selalu santai menanggapi becandaan teman-teman.

Kemudian kesimpulan sederhana itu berkembang. Ternyata baper tak hanya diperuntukkkan bagi mereka yang tidak bisa santai menanggapi becandaan. Secara harfiah baper diperuntukkan bagi orang-orang yang menggunakan perasaannya. Dan karena semua manusia terlahir memiliki perasaan, tentunya ini berlaku untuk semua orang. Jika orang-orang baper bisa disebut sebagai baperian (istilah temen gw yang otaknya rada sengklek, sebut saja erwan — mungkin bukan nama sebenarnya), maka kesimpulan diatas gw revisi menjadi, semua orang adalah baperian dengan kadar dan levelnya masing-masing.

Borderline — manusia pada umumnya. Bukan yang direkayasa genetikanya dan dihilangkan kromosom pembawa emosinya. Gw tulis ini sekedar counter buat yang otaknya rada sengklek 😐

Back to topic. Yang menjadi lebih utama adalah bukan tentang seberapa baper seseorang. Tapi tentang how he/she manage not to show them, untuk tidak memanjakan perasaan tersebut. Kita semua baper, pada kondisi tertentu, dengan kadar tertentu, pada orang-orang tertentu. Bahkan orang yang paling emotionless bisa saja baper hanya karena chat ga dibalas, atau karena lupa balikin pulpen. Tapi kembali lagi, bagi orang-orang emotionless jauh lebih mudah untuk mengabaikan perasannya. Seberapapun sakitnya saat itu. Karena bagi mereka, mengikuti perasaan jauh lebih melelahkan, dan punya dampak jangka panjang. Mengabaikan perasaan memang membutuhkan energi yang besar, but once you conquer it, you win, you controll them.

Penguasaan terhadap emosi. Inilah menurut gw yang menjadi pembeda antara orang-orang baperian level tinggi dengan mereka yang terlihat seolah-olah tidak baper sama sekali. Tapi sedikit pesan buat kalian yang tidak baper, jangan sering-sering mengabaikan perasaan. Kalian tentu tidak ingin menghabiskan hidup dengan perasaan yang tumpul dan tidak mampu memahami orang-orang sekitar, terutama orang-orang yang kalian cintai. Because trust me, there will always be somebody that you love. Maybe not now, but there will be….

Saramindi, Jakarta 9 April 2016

Leave a comment